Fanatisme Sebagai Rekayasa Penguasa

Fanatisme Sebagai Rekayasa Penguasa | Foto ©Freepik

Untuk mengukur tingkat fanatisme seseorang atau suatu golongan, sebuah ungkapan sarkastis ditulis, “Apabila kau ingin tahu sifat seseorang atau golongan tertentu, caci maki nabinya dan injak kitab sucinya.”

Di era modern semua orang bisa bijak di situasi tertentu, tetapi fanatik di saat yang lain. Adakalanya orang berbondong-bondong menghina golongan agamawan yang fanatik, tetapi mereka juga fanatik terhadap sesuatu meski bukan soal agama. Fanatisme tidak melulu pada konteks agama, melainkan juga pada segala hal karena setiap hal memiliki kecenderungan mendorong orang untuk bersikap fanatik.

Di negara demokrasi, elite politik memiliki peran dalam merekayasa fanatisme di masyarakat. Bisa jadi fanatisme justru dibutuhkan untuk membangun basis suara guna melanggengkan kekuasaan elite tertentu. Berikut ini adalah perbincangan fiktif elite politik (borjuasi) dalam merekayasa fanatisme.

Di sebuah negara, yaitu Republik Gondes yang berhaluan demokrasi kapitalistik, sedang berlangsung pertemuan elite yang dihadiri oleh Presiden dan para menterinya. Mereka membahas strategi melanggengkan kekuasaan dengan cara memolitisasi fanatisme rakyatnya.

Presiden menyampaikan, “Fanatisme harus kita kembang biakkan. Rakyat harus memiliki sikap fanatik agar mereka tetap di bawah kontrol kita. Jangan biarkan kesadaran kritis mewabah di tengah rakyat”. Pernyataan tersebut langsung diamini para menteri dan salah seorang menteri berkata, “Betul, Pres. Fanatisme harus tetap ada pada rakyat kita. Sekarang tinggal kita susun strategi untuk memenangkan suara mereka dengan memanfaatkan fanatisme mereka.”

“Beberapa waktu ke depan, kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi dan kita butuh suara agar bisa tetap berkuasa. Dan berdasarkan riset peneliti, ada golongan rakyat yang tidak pro terhadap kekuasaan kita. Jumlahnya cukup banyak,” terang presiden kepada para menteri.

Menteri Ahli Penanganan Fanatisme memberikan tawaran kepada presiden. “Pres, saya punya konsep yang jitu untuk mengambil suara mereka. Tapi, kita harus gandeng legislatif dan media karena strategi ini adalah pengebirian gerakan rakyat lewat regulasi.

Pertama-tama, kita minta legislatif untuk membuat draf rancangan undang-undang yang isinya membatasi kebebasan mereka. Setelah itu, kita tunggu reaksi mereka.”

Sembari berpikir menteri itu meminta izin kepada Presiden untuk meminum kopi yang sudah disediakan di depannya. “Izin ngopi dulu, Pres.” Presiden hanya mengangguk tanda mempersilakan, lalu terdengar suara sang menteri menyeruput kopinya.

“Dilanjut, ya, Pres? Setelah kita meminta legislatif untuk membuat RUU, kita minta juga media massa untuk menyebarluaskan pemberitaan ini, baik pemberitaan yang pro maupun yang kontra. Kita buat berita di berbagai media, mulai media cetak, media sosial, hingga televisi. Viralkan!”

Saat menteri itu menjelaskan, salah seorang menteri lainnya mempertanyakan konsep tersebut. “Maaf, saya potong. Lalu, apa korelasi antara konsep yang Anda sampaikan dengan pesta demokrasi?”

Menteri tersebut tersenyum, lalu langsung menjawab. “Yang kita cari adalah kantung-kantung suara pada rakyat. Tentu, konsep yang saya jelaskan sangat berkorelasi langsung dengan kemenangan dalam perhelatan demokrasi kita. Makanya, dengarkan dulu. Jangan dipotong, ya, Bos.”

Sang menteri pun melanjutkan, “Ketika kita sudah mengetahui kelompok atau golongan mana yang pro ataupun kontra, kita tinggal pertimbangkan mana yang lebih banyak. Itulah yang kita ambil sebagai amunisi kita.”

“Jelas, banyak yang kontra tentunya. Ini, kan, regulasi yang membatasi kebebasan mereka? Mana ada rakyat yang mau kebebasannya dibatasi?” ungkap salah seorang menteri.

“Yap, benar! Ketika rakyat sibuk dengan konsolidasi mereka dalam memperjuangkan kebebasannya, baik di Instagram, Twitter, maupun dengan menyebar petisi online, saat itulah kita mengambil peran. Dalam pengesahan undang-undang, legislatif perlu mendengarkan pendapat kita terkait rancangan undang-undang yang mereka buat. Saat itulah kita harus bersikap seolah-olah pro terhadap rakyat. Kita bersikap kontra terhadap draf yang dibuat legislatif tersebut. Media juga dalam waktu bersamaan harus mengangkat isu ini agar rakyat tahu bahwa kita menolak rancangan undangundang tersebut. Terlepas disahkan atau tidak, nanti kita akan bahas kembali, tergantung situasi dan kondisinya,” tegas si menteri.

“Oh, jadi, begitu? Jadi, RUU itu hanya alat kita untuk mengambil simpati rakyat?” tanya presiden memastikan konsep tersebut.

“Betul, Pres. Hewan saja ketika kelaparan atau kesusahan kita tolong, dia jadi jinak. Rasanya tak mungkin kalau manusia sudah kita tolong tidak mengucapkan terima kasih,” jawab sang menteri dengan penuh keyakinan. []


Penulis: Ade Aji Maulana

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement